Sabtu, 23 Mei 2009

 

Bagaimana Mendapatkan Calon Suami ???

Bagaimana saya dulu mendapatkan suami? Sekedar berbagi, terutama untuk yang tengah berusaha.

......Malam demi malam saya bermunajat pada Allah, sekiranya mentaqdirkan harapan-harapan menjadi suatu kenyataan. Berpuasa Senin Kamis, puasa Daud biasa saya lakukan sejak semasa sekolah menengah sampai kuliah, untuk menjernihkan bashirah mata hati dari kilau dunia dan bujuk rayunya. Semoga saja Allah mengabulkan dengan kemantapan hati pada saat bersua dengan seseorang yang tepat bagi saya. Alhamdulillah, jawaban itu datang juga, hingga setengah tidak percaya saya mengiyakan untuk menerima seorang pemuda sederhana, dengan mimpi-mimpi ‘besarnya’ (yang belum diceritakan pada saya waktu itu) .

Sungguh, ketika datang ke rumah orang tua saya pertama kali di tahun 1991 untuk melamar saya, beliau hanyalah seorang pemuda bertubuh kurus dan belum menyelesaikan kuliah. Beliau hanya mengenakan kaus T-shirt dan bersendal jepit, seorang diri datang menemui orang tua saya dan sangat percaya diri meminang saya. Beliau tampak polos sekali. Yang kelihatan darinya hanyalah semangat juang yang tinggi, keikhlasan untuk melakukan kebaikan, dan kesederhanaan dalam penampilan.
Saya bisa memberikan kepercayaan kepada beliau untuk menjadi pemimpin dalam hidup saya, karena saya meyakini keikhlasan dan kesungguhannya. Bukan karena kekayaan, harta atau kedudukan duniawi yang beliau bawa, tetapi semangat memperbaiki diri dan umat, keyakinan diri yang terpancar kuat dari berbagai kegiatan yang dilakukannya. Dan saya merasa tenang dengan kebaikan dirinya.
Saya ingin menegaskan ini untuk mengingatkan anda yang bersikap perfect dan menginginkan kesempurnaan calon pasangan. Seorang gadis (akhwat) muslimah datang berkonsultasi kepada saya, setelah belasan lelaki melamarnya, dan tak satupun sesuai kriteria harapannya. Saya berikan nasihat dengan cerita masa lalu saya.
“Jangan bayangkan Pak Cah (panggilan akrab suami saya, Cahyadi Takariawan) tahun 1991 ketika melamar saya, adalah Pak Cah yang anda lihat sekarang ini, dengan segala kelebihan dan kematangannya. Dulu beliau hanyalah seorang pemuda yang bersemangat untuk berbuat kebaikan dengan segala kesederhanaan dan keluguannya. Kemudian kami bersama-sama saling membangun dan mengisi, membentuk sifat kesuamian atau keistrian, kebapakan atau keibuan. Mematangkan konsep dan pemikiran, mengasah ketrampilan dan mencoba mengaplikasikannya. Bereksperiman tentang pola yang tepat dalam saling memotifasi dan seterusnya, dan seterusnya.... Hingga kini kami masih saja saling belajar, saling melengkapi dan menyempurnakan”
Anda jangan hanya ingin “terima jadi”, bahwa seorang ikhwan yang ideal, atau akhwat yang sempurna, datang kepada anda dan memenuhi segala kriteria yang anda harapkan. Tetapi anda harus rela dan berani untuk bersama-sama membangun pribadi yang diharapkan. Menerima tidak hanya kelebihannya, tapi juga kekurangan yang pasti ada padanya, sebagaimana juga ada pada anda.
Yang penting anda mantap bahwa ia yang terpilih adalah seseorang yang memiliki visi dan misi yang sama. Kalau toh belum, minimal memiliki itikad baik untuk membangun visi tersebut. Ummu Salamah adalah contoh perempuan unggul yang membuka ruang pencerahan bagi calon suaminya, Abu Thalhah. Dan sejarah mencatat, bahwa Abu Thalhah yang tadinya belum Islam akhirnya menjadi seorang mujahid dakwah.

Ditulis oleh Ummi Ida Nur Laila (istri ustadz Cahyadi Takariawan)
pada Facebook beliau Wed 11:47pm

Semoga bermanfaat,

“ … Robbanaa hablanaa min azwaajinaa wa dzurriyyaatinaa qurrota a’yun waj ‘alnaa lil muttaqiina imaaman."
Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami) dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa. (QS. Al-Furqon: 74)


Label:


Minggu, 17 Mei 2009

 

Ku Semaikan Do’a untuk Laki-laki Istimewa

Hari itu serasa beda dari hari sebelumnya, ada rasa haru yang mendalam di hati seseorang. Sepi merajut suasana saat itu, ia duduk di lobi kampus, salah satu kampus swasta di Yogyakarta, dimana kurang lebih selama empat setengah tahun ia telah akrab dengan hiruk pikuk aktivitas di lobi itu. Ya, kurang lebih empat setengah tahun yang lalu ia tercatat sebagai mahasiswi di kampus itu. Sore menjelang maghrib tepat pukul 16.30. Tempat duduk itu masih terasa sama seperti beberapa tahun yang lalu hanya saja ia telah bertambah cerita tentang kejadian-kejadian di lobi itu. Tak menyangka bahwa di lobi itu adalah awal sebuah harapan tertanam dalam hati seorang yang memang istimewa baginya.


Kurang lebih empat tahun yang lalu, tepat disaat mentari mulai beranjak memberi salam pada setiap makhluk, hiruk pikuk mulai terasa di lobi kampus, hari pertama mahasiswa baru angkatan 2004 memulai perjuangan kuliah berharap dapat lulus tepat pada waktunya syukur-syukur bisa cumload. Aktivitas awal mahasiswa baru adalah mencari teman dengan harapan dapat dijadikan sahabat dalam perjuangan bergelut dibangku kuliah. Ada yang menarik dari sekian mahasiswa baru ini, seorang mahasiswa berdiri dengan gagahnya memutarkan pandangannya keseluruh penjuru arah lobi. Namanya adalah Ahmad. Seperti yang lainnya Ahmad mencari–cari mahasiswa yang dapat diajak berkenalan. Suasana hiruk pikuk memang tak dapat terelakkan, ada yang bersendau gurau, ada yang bercerita dengan tema sesukanya, berisik sekali.

Eit, tepat pandanganya berhenti setelah menjelajah, ada yang beda ia rasa, sebuah pemandangan yang membuat hatinya bergetar, getar-getar yang tak pernah ia rasa sebelumnya. Duduk seorang mahasiswi berjilbab lebar bersama dengan mahasiswi yang lain. Mahasiswi ini duduk dengan tenang, matanya tertuju pada sebuah kitab yang ia bawa di kedua tangannya, musab Al-Quran berukuran 4x6 centimeter bercofer warna hitam dibawanya dengan penuh harap. Ia serasa beda diantara yang lainnya ketika yang lainnya berisik dengan sendau gurau obrolan dan ngegosib, tapi ia asyik dengan ayat-ayat cinta-Nya. Pemandangan ini membuat Ahmad takjub dan haru, “ternyata ada ya yang begini di kampus ini” bisiknya dalam hati. Bibirnya mengembang tersenyum, berlalu ia dari pemandangan indah itu, sambil berdo’a dalam hatinya “Ya Alloh semoga suatu saat nanti aku mendapatkan istri sholehah yang seperti itu...” .

Daun-daun menguning akhirnya gugur dari tangkainya, angin bergerak lembut membawa daun-daun sampai ketempat yang jauh dari semula.

*****

22 Mei 2008

Langit tampak membiru dengan semburat-semburat awan putih yang menambah indah lukisan Sang Pencipta. Pagi yang cerah. Ini adalah hari yang ditunggu-tungu setelah berjuang beberapa bulan menyelesaikan program dan laporan yang bernama skripsi. Annisa salah satu mahasiswi angkatan 2003 yang tercatat dalam wisudawan wisudawati periode Mei 2008. Tak ada yang istimewa Nisa, panggilan akrabnya, menyiapkan diri untuk mengikuti acara wisuda. Hanya harapan yang istimewa tertambat dalam lubuk hatinya, terukir seiring dengan berputarnya waktu, harapan ia dapat mewujudkan impian besar dalam hidupnya, menggenapkan separoh dari agamanya. Mungkin ini adalah hal yang biasa untuk orang lain, namun baginya itu adalah impian besar. Menggenapkan separuh agama - menikah - dengan impian membangun rumah tangga Islam dan dakwah. Ya, idealisme yang masih melekat dalam jiwa aktivisnya, berharap ia dianugerahkan pasangan hidup yang dapat menjadi partner mewujudkan impiannya.

“Nis taksinya sudah datang” teriak seseorang dari luar kamarnya.

“Iya, suruh tunggu bentar!” Nisa sedikit kaget terbangun dari lamunannya didepan cermin seolah ia barusan melihat masa depan tergambar jelas di cermin. Kemudian ia bergegas berlalu dari cermin, mengambil dompet, HP dan undangan wisuda, ia tak membawa tas karena di ruang wisuda tak diijinkan membawa tas.

“Aku berangkat ya, Assalamu’alaikum” pamit Nisa pada teman-teman sekontrakan.

“Ayo Nis” ajak Mia sahabat seperjuangan Nisa dari awal kuliah sampai wisuda, yang telah menunggu didalam taksi.

Nisa membalas dengan senyuman penuh kasih kepada sahabat yang disayangnya. Mereka berdua hari ini tampak beda dengan toga dan topi wisudanya.


Burung-burung berkicau riuh seakan ikut merasakan kebahagian para wisudawan wisudawati hari itu.


Pukul 14.30

“Barokalloh ukhti atas wisudanya, semoga ilmunya dapat barokah dan bermanfaat ^_^” sebuah sms terkirim di HP Nisa sesaat ia sampai di kontrakan bersama kedua orang tuanya.


“Amin, Jazakalloh Khoiron Katsiro akh atas do’anya” Nisa mengirim teks sms ini ke nomer HP dengan nama Ahmad. Ahmad adalah salah satu teman seaktivitas di organisasi Lembaga Dakwah Kampus-nya, yang telah ia kenal selama kurang lebih empat tahun ini.

“Nduk, ibu bapak langsung pulang aja ya, kayaknya mau hujan” kata seorang ibu yang umurnya telah setengan abad, beliau adalah ibu yang sangat Nisa sayangi, sambil mengusap kepala Nisa penuh sayang.

“Ya bu... Nisa pulangnya insyaAlloh kalau urusan sudah kelar” jawab Nisa penuh sayang.

Nisa mengantar ibu bapaknya kedepan kontrakan, orangtuanya mengendarai sepeda motor karena jarak rumah dengan kontrakan Nisa hanyalah menempuh waktu satu setengah jam, tak terlampau jauh bagi mereka.

Orangtua anak pun berpisah, dan matahari perlahan mulai kembali kesinggasananya hingga semburat merah kekuningan menghias langit yang memang telah cantik menjadi tambah cantik.

*****

29 Mei 2008


Semburat mentari merona di ufuk timur. Harapan dan impian Annisa masih tertanam kukuh di hati. Pagi itu ia berniat ke kampus yang terletak tak jauh dari kontrakanya, ia ingin mengambil transkrip nilai dan pernak-pernik wisuda. Sebelum berangkat, Ia merapikan meja komputer yang agak berantakan.

“Bip..bip..bip...” suara ring tones dari HP Nisa, yang menandakan adanya sms.

Tangan kanannya meraih HP yang terletak di meja komputer yang tepat dihadapannya. Ia membuka sms yang terkirim di HP nya “Dek, masih di Jogja kah? Mbak ingin bertemu dengan anti di masjid kampus, ada yang ingin mbak sampaikan. Kpn ada waktu?” Sms dengan nama pengirim mbak Ara.

“Tak biasanya, ada apa ya?” lirih Nisa dalam hati.

“Alhamdulillah masih di Jogja mbak. InsyaAlloh hari ini bisa, kebetulan ana pagi ini mau kekampus. Habis dzuhur ya mbak?!” Nisa mengirim sms balasan.

“Toyib, hbs dzuhur” sms balasan dari mbak Ara.

Beberapa saat meja komputernya telah rapi. Nisa pun meraih tas jinjingnya yang sering ia gunakan untuk ke kampus, walau penuh tanda tanya di benaknya setelah mendapat sms dari mbak Ara, Nisa melangkah keluar kontrakan dengan niat untuk ke kampus. Saat itu di kontrakan tak ada siapapun yang tertinggal hanyalah Nisa, penghuni lainnya sudah sedari tadi meninggalkan kontrakan untuk menjalani aktivitas mereka masing-masing.


Sepanjang jalan Nisa memperhatikan pemandangan di sekeliling, kakinya melangkah mantap menapaki aspalan, pemandangan ini memang telah akrab di matanya namun ia tak pernah bosan memandang karena pepohan hijau disepanjang jalan dan bentangan sawah beberapa petak membuat sejuk di hatinya.

Pukul 12.30

Masjid kampus masih kokoh berdiri, orang-orang kampus silih berganti meninggalkan masjid selepas mereka menunaikan ibadah sholat dzuhur. Nisa duduk di beranda masjid, sembari menunggu mbak Ara, mata dan memori otaknya seolah memutar balik rekaman kenangan aktivitasnya selama di masjid ini, kurang lebih empat setengah tahun, masjid yang penuh dengan beribu kenangan, dimana ia menjadi seperti sekarang ini, kenikmatan Islam yang luar biasa setahap demi setahap membentuk kepribadian Annisa.

Alhamdulillah...” ucapnya dalam hati.

“Assalamu’alaikum dek...” salam itu sedikit mengagetkan sehingga dengan terpaksa Nisa mengemasi kenangan-kenangan didepan matanya masuk kembali ke memorinya. Karena begitu asyik dengan memorinya, sampai-sampai Nisa tak menyadari ada seorang akhwat yang menghampiri dari arah samping kanannya.

“Wa’alaikumsalam..”jawab Nisa sambil berdiri dengan senyum mengembang dan tangannya langsung menjabat erat akhwat berkerudung biru itu, seakan-akan mereka telah lama sekali tak bertemu.

Nisa dan mbak Ara kemudian saling melepas rindu, menanyakan kabar masing-masing. Mbak Ara sesosok akhwat yang telah lama Nisa kagumi, mereka satu kampus hanya saja beda angkatan, mbak Ara adalah senior Nisa, baik senior di akademis maupun di organisasi Lembaga Dakwah Kampus. Semangat berdakwah dan menuntut ilmu mbak Ara lah yang menjadi salah satu sumber inspirasi hidup Nisa. Dan kini mbak Ara telah berkeluarga dan menjadi guru di salah satu SMP Islam Terpadu di Yogyakarta.

Mereka bercerita tanpa memperdulikan orang yang lalu lalang disekitar masjid, seakan dunia milik mereka berdua. Sampai pada inti dari maksud mbak Ara mengajak bertemu, tiba-tiba hati Nisa bergetar tak seperti biasa. Mbak Ara menjelaskan dengan susunan kalimat yang rapi, karena memang ia piyawai dalam berkata-kata. Nisa mendengarkan dengan seksama. Bagai seorang anak yang sedang didongengkan oleh ibunya. Mulai sayu hati Nisa mendengar penjelasan dari mbak Ara, karena berita ini begitu mengejutkan baginya. Tapi tampak terlihat jelas rona merah di pipinya, ada harap yang besar terpancar dari kedua matanya, berbinar-binar, entahlah hanya Nisa yang tahu perasaannya saat itu.

*****

2 bulan berlalu...


Rumput-rumput bergoyang diterpa semilir angin, hamparan hijau dari jejeran rumput jepang dipelataran masjid kampus terlihat segar didepan mata. Namun layu hati Nisa hari ini, perlahan-lahan terasa dingin di kedua pipinya, butiran air keluar dari mata tak bisa tertahankan.

“Dek, tak bisa dilobi lagi kah orang tua anti?” pertanyaan muncul dari mulut mbak Ara yang duduk di sebelah kiri Nisa. Kedua tangan mbak Ara memegang kuat tangan kiri Nisa seakan menyalurkan energi.

Nisa menghela nafas sambil tertunduk, serasa sesak di dadanya, bergemuruh bermacam perasaan, otaknya pun telah penat. Masih hangat di ingatannya, tepat tanggal 26 Juni 2008 datang ke rumahnya seorang laki-laki yang memang telah lama ia kenal, silaturahim, khususnya untuk menemui kedua orang tua Nisa dengan membawa segenggam harapan. Ya, temannya seaktivitas di Lembaga Dakwah Kampus, Ahmad, sosok mahasiswa yang banyak dikagumi oleh teman-teman dan orang-orang disekelingnya, mempunyai semangat hidup yang luar biasa, tertanam kukuh di kepribadian seorang Ahmad jiwa sosial yang tinggi.

“Akhi Ahmad adalah laki-laki yang baik... agama, akhlak insyaAlloh baik...ia juga bertanggungjawab...” ucap mbak Ara dengan penuh harap dapat menguatkan Nisa.

“Tapi bagaimana jika ayahku sendiri yang memohon... untuk tidak menerima lamarannya...” lirih serak ucap Nisa seolah meminta iba dari mbak Ara.

Sesaat suasana menjadi tambah sunyi, karena memang di beranda masjid hanya ada mereka berdua.

“Ya dek... sebelum jawaban dari melobi yang kedua kalinya ini... Akhi Ahmad pernah berucap pada mbak... apapun keputusannya insyaAlloh dia akan berlapang hati untuk menerimanya...” kata mbak Ara sedikit memecah kesunyian.


Semilir angin masjid kampus tampak menambah kesaduan di hati Nisa. Seolah-olah ia ingin ikut pergi bersama angin ketempat yang jauh berharap terlupalah semua beban dalam dirinya.

..........

Annisa sangat beruntung mendapatkan cinta dari orang yang mencintai Tuhannya, cinta dari orang yang menjaga cinta didalam hati hingga kurang lebih empat tahun lamanya. Bukankah rasa cinta itu memang fitrah dari Alloh yang ditambatkan pada hamba-Nya?!, tinggal bagaimana mengelola dengan baik, agar cinta tidak jatuh pada zina kecil ataupun besar, na’udzubillah min dzalik. Subhanalloh...cintanya orang yang bisa mengendalikan nafsunya, hingga cinta itu terungkap tepat pada waktunya dengan cara yang Alloh sukai.

Dan waktu itu Nisa harus memilih, walau berat ia harus melepas laki-laki istimewa seperti Ahmad, orangtua adalah pilihan yang ia pilih. Harapan dan impian didalam hati Nisa masihlah tetap akan terajut seiring berjalannya waktu, meski ia telah melepas laki-laki istimewa seperti Ahmad, semua akan berjalan menurut garis edarnya. Dan semoga ini adalah yang terbaik menurut pandangan Alloh.


Kini, laki-laki istimewa itu telah kembali berlayar menuju ke pelabuahan tujuan hidupnya. Ia memang istimewa, didalam hati Nisa pun terbersit kagum padanya. Lobi kampus ini menjadi saksi awal dari segenggam harap seorang laki-laki istimewa.


Daun-daun kering gugur berserakan

Rona langit telah memerah jingga

Saatnya mentari pulang keperaduan
Kini digenggaman ku semaikan do’a untuk laki-laki istimewa...

*****

Kaki Bukit Tidar Magelang yang sejuk dan asri,
9 Mei 2009
oleh Yani Hanifah

Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: “Di antara doa Nabi Daud ’alihis-salaam ialah: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu cintaMu dan cinta orang-orang yang mencintaiMu dan aku memohon kepadaMu perbuatan yang dapat mengantarku kepada cintaMu. Ya Allah, jadikanlah cintaMu lebih kucintai daripada diriku dan keluargaku serta air dingin.” Dan bila Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam mengingat Nabi Daud ’alihis-salaam beliau menggelarinya sebaik-baik manusia dalam beribadah kepada Allah.” (HR Tirmidzi 3412)

Label:


Sabtu, 16 Mei 2009

 

“INDAH PADA WAKTUNYA”

Aku minta setangkai bunga segar,
Alloh beri kaktus berduri.
Aku minta binatang mungil nan cantik,
Alloh beri ulat berbulu.
Aku sedih, protes & kecewa…
Betapa tidak adilnya ini…

Namun kemudian…
Kaktus itu berbunga, sangat indah…
Ulat itu pun tumbuh & berubah menjadi kupu-kupu yang amat cantik…
Itulah jalan Alloh, “INDAH PADA WAKTUNYA”…
Alloh tidak memberi apa yang kita harapkan,
tapi Alloh memberi apa yang kita perlukan.
Kadang kita sedih, kecewa & terluka,
tapi jauh diatas segalanya,
Alloh sedang merajut yang terbaik untuk kita.
Semoga kita menjadi orang yang bisa bersyukur kepada Alloh.
ALLOHU AKBAR.
TETAPLAH MENJADI ORANG YANG SABAR
“innalloha ma’ashshoobiriin”
(”spirit from my sang Murobbi”)
Yogyakarta, halaqoh penyemangat, Desember 2008

Label:


Jumat, 15 Mei 2009

 

WANITA-WANITA PERMATA DAN GENOSIDA GAZA

Logika apa yang dipakai oleh agresor Israel yang sampai hati membantai ratusan penduduk Palestina di Gazza? Alibi kerdil apa yang sampai bisa memasung kepedulian bangsa Arab untuk sekadar menonton pembantaian massal di Palestina? Sudah terlalu menggunungkah dosa-dosa kita yang kemudian mengatup nurani untuk melek menyaksikan kejahatan perang tak termaafkan dalam sejarah itu? Sabtu (27/12/08) kemarin, genosida biadab tak berkesudahan itu kembali menumpahkan darah-darah manusia terhormat di bumi Gazza.

Tidak kepalang tanggung, 150 orang syahid dan 200 lainnya menderita cidera serius dibabat ribuan amunisi buas Israel; ditebas oleh terjangan roket-roket maut F16 yang mengamuk di atas angkasa Palestina. Dan, korban sebanyak itu baru prolog. Allahu akbar! Manusia-manusia Islam yang sudah kehilangan kepedulian saudara-saudaranya di belahan bumi yang lain itu, hanya kuasa menjerit pilu. Cuma bisa mengerang tak bisa berbuat apa apa, tatkala suami-suami mereka jatuh tersungkur bermandi darah; ketika bocah-bocah yang lucu dan menggemaskan itu berteriak kesana-kemari dalam derai kepanikan; manakala puluhan apartemen usang yang menjadi tempat berteduh keluarga-keluarga malang itu seketika roboh dihantam peluru raksasa Israel. Yang tersisa adalah gelimpangan mayat, jasad bocah-bocah suci yang tersenyum tenang, dan puing-puing bangunan yang menyatu ke bumi. Israel kembali menggunakan "logika kematian". Strategi bertaruh nyawa yang tentu saja membuat bulu kuduk pemimpin-pemimpin Arab merinding. Karena kumpulan orang-orang yang mengaku diri mulia dan terhormat itu tidak pernah mengerti bahwa hanya dengan pertaruhan darah demi membela kemerdekaan sejati, manusia baru bisa mulia lalu mendapatkan kehormatan abadi. Bukan dengan bersembunyi di balik ketiak kepengecutan, atau menggelar ratusan pertemuan di meja-meja konferensi OKI, Liga Arab, yang selalu saja berakhir dengan rekomendasi bualan. Tanpa bukti. Pantas mereka menjadi kurcaci dihadapkan dengan logika kematian Israel?

Bagi rakyat Palestina sendiri dari dulu hingga sekarang, mereka sudah memahami bahwa letak krisis Palestina bukan karena Israel yang tak henti-hentinya melakukan pembunuhan dan perampasan. Masalah kematian bagi mereka tak menjadi soal, sebab mereka faham bahwa kesucian dan kemuliaan diri itu selalu harus ditebus dengan darah dan air mata. Sumber genosida di Gazza adalah sikap pengecut pemimpin-pemimpin Arab dan umat Islam yang telah kehilangan semangat altruistik. Lelap berselimut egoistis hingga tak lagi peka akan nilai-nilai humanisme, yang tak lagi menyemat spirit kohesif yang menjadi pilar kekuatan Islam dan bangsa Arab. Dan, oleh karenanya kita dilindas Israel (Barat) yang sukses mengaplikasi semangat altruistik dan spirit kohesif! Maka wajar kita kalah.

Kontribusi Wanita Permata kenapa Palestina yang tinggal sekerat itu masih tetap bertahan menggelorakan semangat perlawanan tanpa batas dan tidak lekang dari bumi? Sebab di atas tanah milik umat Islam itu ada wanita-wanita luar biasa. Bak permata. Meskipun tak menyimpan permata dan perhiasan mewah. Kemilaunya memancar dari kepribadian. Wanita yang mungkin tersembunyi, terbenam bersama perjuangan membina generasi pejuang. Mereka tidak populer, tapi selalu membisikkan spirit kepahlawanan ke telinga-telinga putera-puteri tercinta. "Nak, kehidupan abadi itu di surga. Kemuliaan itu senantiasa harus ditebus dengan tetes darah dan derai air mata"! Begitulah Ummu Nidhol, wanita permata Palestina yang kerap membisikkan spirit perjuangan kepada ketiga puteranya. Ia deskripsikan surga di pangkal mata. Ia tak pernah pacu sang anak untuk merengkuh kehidupan hedonis yang acapkali membinasakan mental ukhrawi. Ia tak cita-citakan puteranya untuk mengemis harta bertuhankan nafsu. Ia hanya inginkan buah hatinya masuk surga, dengan berkorbankan darah. Usai putera ketiganya yang baru berusia 16 tahun syahid dalam drama ledakan dahsyat di jantung kekuatan Israel, Ummu Nidhol menangis. Ketika ditanya perihal penyebab ia menangis. Wanita permata itu berkata: "Saya tidak punya lagi anak yang bisa saya persembahkan untuk kemuliaan Palestina!". Lalu Ibunda Muh. Al-Fatih, sang penakluk Konstantinopel tahun 1453 M. Dalam usia 23 tahun, Al-Fatih berhasil memaksa hengkang Raja Constantine XI Paleologus dari tahtanya. Penaklukan paling fantastis dalam sejarah. Ibunyalah yang kala masih mengandung Al-Fatih acap berdiri menghadap ke arah kota Konstantinopel. Ia berharap besar bahwa kelak puteranya yang akan menaklukkan negeri itu. Mengamini sabda baginda Rasulullah Saw. "Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan umat Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan." (H.R. Ahmad). Obsesi mulia wanita permata.

Menegaskan substansi krisis sekali lagi, memang benar genosida di Gazza saat ini merupakan potret keangkaramurkaan. Sangat pantas kita kecam kebiadaban Israel bahkan menjadi suatu keharusan. Tidak kita biarkan penduduk Gazza menahan derita seorang diri. Segera tabuh genderang reaksi massal untuk hentikan pembantaian itu. Sebelum terlambat. Sebelum Palestina, seperti kata DR. Raghib Sirjani, akan menjadi Andalusia kedua. Hilang dari peta dunia. Tapi, seyogyanya jangan biarkan pemimpin-pemimpin Arab yang duduk santai di singgahsana apatis itu lepas dari kecaman. Sebab mereka yang paling bertanggungjawab atas tragedi kemanusiaan yang melanda bumi Palestina. Paksa mereka untuk mengulurkan bantuan dan membungkam kekejaman Israel, walaupun mungkin hal itu hampir mustahil mereka lakukan. Mengapa? Barangkali karena sosok wanita-wanita permata itu hanya ada di Palestina, hanya pernah ada di masa penaklukan Konstantinopel. Yang ada hanya seorang ibu yang cita-citanya hendak mengikuti riak-riak kecil arus modernisme. Meletakkan standar kesuksesan anak-anak pada wujud materi dan segudang sertifikasi. Seorang isteri yang memaksa suami berpeluh darah untuk menangkap kebahagiaan semu pada jabatan, pangkat, dan prestise. Pada ruang-ruang busana temporal yang sering menguap dilahap waktu. Mengapa ibu dan isteri itu tak membisikkan senandung merdu tentang surga ke telinga-telinga anak dan suami? Kenapa tak pintal sutera cinta dalam tiap keinginan bahwa ibu dan isteri itu ingin bersama merengguk kebahagiaan abadi? Genosida Gazza adalah konsekuensi dari punahnya sistem pendidikan ukhrawi yang hanya bisa diajarkan oleh wanita-wanita permata. Cukup kita sesalkan karena pemimpin-pemimpin Arab itu dilahirkan, dibesarkan, dididik, dan didampingi oleh reinkarnasi wanita lain. Harapan itu masih ada. Di Palestina masih banyak wanita permata yang menjamin eksistensi para pahlawan pembela negeri. Kalau Dunia Arab telah mandul melahirkan wanita permata, maka Dunia Islam yang membentang dari pangkal Indonesia sampai ke pucuk Samudera Atlantik di pesisir Afrika Barat, pasti telah bersiap-sedia menjadi wanita-wanita permata. Untuk melahirkan pemimpin satria sekelas Al-Fatih. Bukan seperti pemimpin Arab yang kini hanya bisa menonton Genosida di Gazza. [Taryudi]

Taryudi, Kelahiran Purbalingga, 09 Maret 1985. Telah menyelesaikan pendidikan strata satu di Universitas Al-Azhar Fak. Ushuluddin Jur. Tafsir dan Ilmu Alquran pada Agustus 2008. Saat ini tengah merampungkan pendidikan magisternya pada civitas yang sama. Alamat District Nasr City, Cairo. Warga Kisaran, Kab. Asahan Sumatera Utara Medan. Selain kuliah, juga aktif di KAMPUS KEHIDUPAN di lembaga Kajian Sosial-Politik dan Dunia Islam Studi Informasi Alam Islami (SINAI) Mesir.No. kontak : +20163932877/ +2024718593 Email :taryudi_k@yahoo. com


From: PKS-jogja@yahoogroups.com

Label:


This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Berlangganan Postingan [Atom]